Mendidik
untuk Membentuk Karakter dan Mengapa Sekolah Membutuhkan Dukungan dari
Lingkungan Rumah
A. Pendahuluan
Kehidupan
sosial sangatlah berpengaruh pada perkembangan kepribadian seorang individu.
Berdasarkan kenyataan yang ada, struktur kehidupan sosial semakin memburuk, dan
tentunya sekolah-sekolah harus menyadari bahwa pihak sekolah harus mencoba
melakukan sesuatu dalam proses memberikan pendidikan tentang nilai. Dalam melaksanakan
hal tersebut, maka sekolah-sekolah harus melihat dua hal utama yaitu:
1.
Harapan
bahwa tujuan mereka dapat terlaksana dengan baik
Harapan
ini telah dapat dilihat pada beberapa sekolah yang telah melaksanaka program
atau usaha yang cukup berarti dalam memberikan pendidikan nilai.
2.
Rasa
percaya bahwa mereka tidaklah sendiri dalam pelaksanaan upaya tersebut.
Rasa
ini muncul dari sebuah tren yang saat
ini sedang dikembangkan yaitu “sekolah dan keluarga bekerja sama untuk mendidik
moral anak-anak”.
Penanaman
nilai moral pada anak merupakan tanggunga jawab bersama antara pihak sekolah
dan lingkungan keluarga. Kerjasama yang baik antara kedua pihak ini haruslah
terjalin sehingga dapat memperoleh hasil yang baik dalam penanaman nilai dan
moral pada anak. Peran, tugas serta tanggung jawaba dari pihak sekolah dan
lingkungan keluarga haruslah diketahui dan dipahami, sehingga dalam
pelaksanaannnya nanti tidak terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan suasana
yang kurang bersahhabat antara pihak sekolah dan keluarga. Hal ini dapat
diatasi dengan memahami tanggung jawab dan tugas masing-masing pihak.
B. Pembahasan
1.
Apa
yang sedang Berlangsung?
Di Amerika dan Kanada, sudah
dilakukan dan sedang dilakukan oleh sekolah maupun organisasi masyarakat dalam memberikan
nilai-nilai positif dan juga pembentukan karakter yang terpuji. Berikut ini
adalah beberapa contoh kegiatan/program dari sekolah ataupun organisasi di
Amerika dan Kanada yang telah melakukan dan mengembangkan pembentukan karakter
disekolah.
·
Para siswa SMA di Atlanta harus mampu
menunjukan semangat mereka sebagai seorang warga Negara yang baik dengan
memenuhi 75 jam kegiatan bermasyarakat sebelum mereka lulus.
·
Di Chicago sebuah organisasi masyarakat
yang menamakan diri For Character menjadi
sponsor dalam melaksanakan program penganugerahan dibidang pendidikan dasar dan
menengah yang telah mendidik siswa-siswi mereka untuk dapat berprestasi dalam
hal karakter dan akademik.
·
Pengembangan tentang pemahaman dan
penghormatan siswa terhadap hukum yang berlaku merupakan focus utama dari Law in a Free Society, sebuah projek
pendidikan dalam California State Bar
Association. Law in a Free Society mengembangkan
dan menerbitkan kurikulum pendidikan mulai dari tingkat TK sampai dengan kelas
12, yang didalamnya terdapat penjelasan tentang konsep otoritas, keadilan,
privasi, tanggung jawab, kebebasan, perbedaan, kepemilikan, dan keikutsertaan.
Beberapa hal yang dikembangkan adalah untuk memperkuat nilai diri dalam
menghadapi berbagai tekanan dari teman-teman sebaya, untuk mampu menghadapi
sebuah konflik dengan cara yang positif bukan dengan cara kekerasan, untuk
mengembangkan pemahaman tentang tolerasi, dan untuk menghormati pandangan orang
lain yang berbeda. Hal tersebut merupakan tujuan dari PREPARE, sebuah kurikulum
yang popular di Kanada yang berbasis pada pendidikan kewarganegaraan untuk
siswa kelas SD kelas 4-6. Program pendidikan kewarganegaraan ini bersifat
parallel untuk para remaja. Preparing
Adolescents for Tomorrow berisi beberapa topic mengenai: pelanggaran lalu
lintas, aturan dalam keluarga, membentuk kerjasama kerja, perlindungan diri,
pencurian, dan pencegahan tindak bunuh diri.
Berdasarkan
beberapa uraian diatas, dapat dilihat bahwa dibeberapa sekolah sudah diterapkan
dan dikembangkan program dalam pedidikan karakter. Program tersebut ada yang
dilaksanakan berdasarkan program sekolah ataupun berdasarkan kurikulum, namun
ada juga yang dilaksankan dengan bekerjasama dengan pihak lain (organisasi
masyarakat). Aspek-aspek yang dikembangkan meliputi berbagai pendidikan nilai
(karakter) yang berhubungan dengan pergaulan peserta didik dilingkungan
masyarakat, seperti aturan dalam keluarga dan masyarakat, cara bekerja sama
dengan orang lain, mematuhi aturan-aturan yang berlaku, dan juga pendidikan
dalam pengambilan sikap.
Pendidikan
karakter dalam sekolah dapat juga diintegrasikan pada bimbingan konseling. Hal
ini merupakan salah satu program yang dilakukan oleh pihak sekolah. Selain itu
juga pendidikan karakter dapat di terapkan dalam berbagai mata pelajaran dengan
berbagai model pembelajaran seperti model kontekstual dan juga penerapan
melalui karya sastra dalam bentuk bingkai drama (Khusniati, 2012; Yasid, 2012).
2. Apakah Pendidikan Nilai Memberikan
Pengaruh
Program
pendidikan nilai sangat mempengaruhi pada anak apabila dilaksanakan secara
konsisten. Siswa akan mengalami peningkatan dalam hal sikap dan moral. Seperti
penelitian yang telah dilaksanakan di Negeri Kanada untuk mengetahui apakah ada
pengaruh pendidikan moral secara langsung.
Berdasarkan
hasil penelitian penulis bahwa terdapat perubahan yang sangat signifikan kepada
anak disekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Sebuah SMP San Marcos di
California, kini menyelenggarakan program tentang sikap pengambilan keputusan.
Hal ini dapat menekan jumlah kehamilan di sekolah itu dan meningkatkan prestasi
akademik. Selain itu juga, sebuah di Kanada, yaitu Scarborought Village di
Ontario merupakan tempat selanjutnya yang dikunjungi peneliti. Siswa dari
sekolah tersebut kebanyakan merupakan siswa pindahan dari sekolah lain. Penulis
mewawancarai seorang siswa kelas 5 SD yang merupakan siswa pindahan. Dalam
wawancara tersebut, sang anak menyampaikan keadaannya sebelum pindah ke sekolah
itu. Ia menceritakan keadaannya di sekolah yang lama yang sering mendapat
tekanan dan ancaman dari teman sebayanya. Keadaan tersebut sangat berbeda
dengan keadaannya disekolah yang sekarang. Keadaan di sekolah tersebut sangat
nyaman bagi dia. Ada rasa saling memiliki dan saling menghargai. Tidak pernah
saling menyerang dan menyakiti. Bahkan ada anak yang menyampaikan bahwa di
sekolah ini kami dapat mengatakan kata ‘please’
dan ‘thank you’ kepada orang-orang di
sekolah ini.
3.
Apa
yang ditunjukan Hasil Penelitian
Berdasarkan
penelitian empiris, menggambarkan sejumlah perbedaan pada dua kelompok siswa
pada sekolah yang berbeda. Pada siswa yang mengikuti program Holocaust terlihat diatas rata-rata
dalam pemahaman mereka terhadap bagaimana keputusan-keputusan pribadi
dipengaruhi oleh lingkungan mereka dan tingkat kompleksitas kepekaan mereka
terhadap berbagai isu mengenai kepemimpinan, kekuasaan, dan penyelesaian
konflik.
Evaluasi
ilmu dalam pendidikan nilai dilaksanakan oleh sebuah badan yang dinamakan
Projek Peningkatan Kualitas Anak California (California’s Child Development Project-CDP). Projek ini ditujukan
untuk menjawab pertanyaan “Apakah sebuah program pendidikan nilai yang
menyeluruh, yang dilaksankan dari tingkat kanak-kanak sampai ke tingkat SD,
dapat menghasilkan dampak positif yang terukur dan tahan lama dalam hal
pemikiran moral, tingkah laku, dan sikap anak-anak?” Untuk menjawab pertanyaan
itu, diambillah 6 SD dari 13 SD di San Ramon. Enam sekolah itu dibagi menjadi 2
kelompok (1 kelompok terdiri dari 3 sekolah). Sekolah yang termasuk pada salah
satu kelompok menjadi sekolah eksperimental (dengan program), sedangkan yang
satunya lagi sebagai sekolah control (tanpa program).
Lima
tahun kemudian, pada tahun 1989, laporan hasil belajar anak-anak yang
bersekolah dengan program CDP menunjukan kearah yang lebih positif. Hasil
belajar tersebut didapat dari seluruh siswa yang telah berpartisipasi sejak
duduk dibangku TK sampai kelas 4 SD (5 tahun). Terdapat beberapa hal yang cukup
menonjol dan menjadi perbedaan hasil yang cukup signifikan, yaitu dalam 4 hal:
1.
Sikap terhadap kegiatan pembelajaran
kelas. Para siswa lebih menunjukan sikap yang lebih spontan dalam memberikan
pertolongan kepada orang lain, kerja sama, saling mengasihi dan menyayangi,
serta sikap saling mendukung antar kelas.
2.
Sikap dalam penggunaan arena bermain
sekolah. Para siswa terlihat lebih mau berbagi dengan siswa lain di arena
bermain, sedangkan siswa di sekolah pembanding masih cenderung bersikap menang
sendiri.
3.
Kemampuan dalam menyelesaikan masalah
yang bersifat sosial. Dalam menyelesaikan masalah yang mungkin muncul, para
siswa lebih mendasari perhatian mereka pada penyelesaian yang melibatkan
kesepakatan bersama bukanlah penyelesaian yang terlalu agresif dan terburu-buru
yang tentunya menhasilkan sebuah penyelesaian alternatif yang lebih terencana.
4.
Komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi.
Para siswa lebih berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi, seperti meyakini bahwa
setiap orang dalam kelompok memiliki hak untuk berpartisipasi dalam berbagai
keputusan dan kegiatan yang akan dibuat.
Lebih dari itu, prestasi yang telah
mereka raih diatas, sama sekali tidak mengorbakan prestasi akademik yang mereka
raih. Anak-anak CDP memiliki nilai yang sama bagusnya dengan siswa yang ada di
sekolah control dan telah mencapai standar pengukuran keberhasilan sekolah yang
berlaku di California.
Dari hasil penelitian tersebut
timbulah pertanyaan “akankah hasil positif dalam program tersebut akan terus
tertanam di jiwa para siswa sampai mereka dudukdi bangku SMP? Akankah para
siswa CDP merepresentasikan penurunan jumlah kehamilan remaja dan penurunan
tindak kenakalan remaja? Dan apakah CDP program dapat berjalan baik di
lingkungan dengan kesejahteraan masyarakatnya masih dibawah rata-rata dan di
sekolah yang siswanya berasal dari latar belakang yang heterogen? (daerah yang
belum terjangkau program CDP).
4.
Apakah
Peranan Keluarga
Saat
ini semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa sekolah telah mampu membuat
sebuah perubahan dalam pengembangan
karakter. Akan tetapi, apakah hal tersebut menjadi tanggung jawab sekolah seutuhnya?
Apa peran keluarga?
Secara
umum orang-orang memandang bahwa keluarga merupakan sumber pendidikan moral
yang paling utama bagi anak-anak. Orang tua adalah guru pertama mereka dalam
pendidikan moral. Mereka jugalah yang memberikan pengaruh paling lama terhadap
perkembangan moral anak-anak. Dalam sebuah studi, para orang tua yang berpegang
teguh pada keyakinan mereka akan menunjukkan sikap yang berbeda dikala mereka
mendapati anak mereka melakukan kesalahan ataupun menyakiti orang lain,
dibandingkan dengan orang tua yang tidak memiliki keyakinan dan sikap yang
jelas dalam mendidik anak. Para orang tua lebih peduli untuk meminta anaknya
untuk menyesali perbuatannya, menunjukkan kekecewaan atas hal tersebut, mencari
tahu apa yang menjadi kesalahan dari apa yang telah diperbuatnya, memunculkan
sikap bertanggung jawab, serta meminta mereka untuk meminta maaf dan
memperbaiki kesalahnnya.
Penerapan
nilai/moral dalam lingkungan keluarga, penerapannya mulai dari aktivitas keseharian di lingkungan keluarga. Proses
pembentukan yang dilakukan melalui pembiasaan. Sebab pendidikan sendiri
hakikatnya adalah pembiasaan. Melatih pada kebiasaan yang baik. Pembentukan kebiasaan akan lebih efektif bila didukung oleh
sosok teladan yang dapat dijadikan panutan. Kedua faktor ini memang tersedia dalam
kehidupan keluarga, yakni kedua orangtua
(Jalaludin, 2012).
Para
orang tua yang memberikan pendidikan moral dengan efektif, berdasarkan indikasi
penelitian adalah mereka yang “autoritatif”
membimbing anak-anak untuk patuh kepada mereka. Namun, juga memberikan alasan
yang jelas mengenai apa yang orang tua inginkan dari anak-anaknya sehingga
anak-anak dapat meresapi logika dari tindakan yang bermoral dan melakukan
tindakan yang bertanggung jawab berdasarkan inisiatif mereka sendiri.
Sebaliknya, orang tua yang “permisif”
(yang enggan membuat aturan dan lebih bersikap mengancam) maupun orang tua yang
“authoritarian” (orang tua yang
terlalu banyak mengontrol anak tetapi tanpa memberikan alasan yang jelas
terhadap aturan yang berlaku dan cenderung bersifat kaku), menunjukan hasil
yang sama, yaitu keduanya memberikan dampak yang tidak baik bagi anak-anak
disegala usia dalam meningkatkan sikap pengendalian diri dan memunculkan
anak-anak yang memiliki tanggung jawab secara sosial.
Selain
itu juga, peran lingkungan keluarga sangatlah berpengaruh dalam menanamkan
nilai moral. Hal ini dapat dilakukan karena keluarga hudup dalam lingkungan
masyarakat yang memiliki nilai sosial budaya. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Sukitman, untuk mengembangkan potensi peserta didik diperlukan
pendidikan karakter berwawasan sosiokultural, sebagai sebuah blue print yang
menuntun perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dan ditetaskan dalam
kehidupan keluarga (Sukitman, 2012).
Pada
akhirnya, kualitas pengasuhan orang tua merupakan dasar pengukuran yang
digunakan ketika seorang anak terlibat dalam masalah. Sebuah studi sederhana,
dilakukan terhadap ribuan anak SMP dan SMA, dan ditemukan bahwa semakin baik pengawasan
yang dilakukan oleh ibu terhadap anak-anaknya, semakin baik komunikasi yang
terjadi antara anak dan ayahnya. Selain itu, semakin besar sikap kasih dan
saying antara anak dan kedua orang tuanya, semakin kecil kemungkinan anak-anak
tersebut untuk terlibat dalam masalah pelanggaran hukum.
5.
Perubahan
didalam Keluarga
Peran
keluarga sangatlah penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Akan
tetapi, saat ini peran keluarga tersebut telah berubah. Banyak keluarga yang
mengalami masalah dan berujung perceraian. Sampai dengan tahun 1988,
berdasarkan laporan Komisi Nasional Anak-anak, yaitu sebanyak 55% keluarga yang
hanya dibimbing oleh seorang ibu sebagai orang tua tunggal dan hidup dalam
kemiskinan. Sedangkan yang hidup dalam kemiskinan dengan dua orang orang tua
yaitu sebanyak 12%.
Tempat
tinggal keluarga saat ini mulai sering berpindah-pindah dibandingkan dengan
masa sebelumnya. Setiap tahunnya, satu dari lima keluarga di Amerika berpindah
tempat tinggal. Hal ini menyebabkan menghambat proses pengenalan anak tentang
siapa dirinya di lingkungan masyarakat.
Ilmu
sosial saat ini mulai menunjukkan bahwa akibat dari perceraian keluarga telah
menunjukkan dampak yang lebih buruk dibandingkan yang pernah terjadi
sebelumnya. Pada awal tahun 1970-an, Dr. Judith Wallerstein, seorang psikolog
dan dosen senior di University of
California di Berkley menyatakan bahwa apa yang menjadi pemikiran beliau
sebelumnya adalah sebuah studi selama satu tahun kepada keluarga dengan tingkat
kesejahteraan menengah yang baru saja mengalami perceraian. Hasil studinya
menyatakan bahwa “secara normal, orang-orang yang memiliki kesehatan fisik dan
mental mampu menyelesaikan masalah mereka yang menyangkut perceraian dalam
waktu setahun”. Sebagai pendukung, beliau juga telah menyelesaikan sebuah studi
yang dilakukan selama sepuluh tahun hanya untuk mendokumentasikan tentang
bagaimana pandangan beliau yang keliru sebelum studi tersebut dilaksanakan.
Dalam bukunya yang laris dipasaran, Second
Chances: Men, Women, and Children a Decade After Divorce (kesempatan kedua:
pria, wanita, dan anak-anak sepuluh tahun setelah perceraian) menuliskan:
Ketika kami melakukan wawancara lanjutan setelah
satu tahun hingga 18 bulan kemudian, kami menemukan bahwa kebanyakan keluarga
masih dalam situasi yang tidak menentu. Luka yang mereka alami dapat dengan
mudah terbuka kembali. Ketidakstabilan dan permasalahn hidup tampaknya belum
dapat dihadapi dengan baik. Banyak orang tua yang masih sangat marah,
dipermalukan, dan mendapat penolakan dan kebanyakan dari mereka tidak kembali
rujuk dengan pasangannya. Dalam situasi seperti ini, kebanyakan anak-anak mulai
terjerumus dalam situasi yang tidak menyenangkan. Gejala yang ditemukanpun
ternyata semakin memburuk.
Wallerstein
menjelaskan bahwa dampak dari keadaan ini adalah: anak-anak penurut mulai
membuat masalah di sekolahnya, dan anak laki-laki yang sebelumnya tenang, serta
berperilaku baik menjadi seorang penggangu yang hiperaktif. Dalam jangka waktu
5-10 tahun lebih dari sepertiga anak-anak terjerumus menjadi pecandu alcohol
dan narkoba, terjebak dalam depresi berat dan terlibat dalam masalah
penyimpangan seksual.
Di
Amerika Serikat saat ini terdapat lebih dari 8 juta anak-anak yang tidak
mendapat perhatian dari kedua orang tuanya disaat mereka bekerja. Seorang guru
kelas 4 SD dipusat kota New York menanggapi: perubahan yang kita lihat pada
anak-anak, seperti meningkatnya perilaku yang tidak baik, merupakan refleksi
dari perubahan peran keluarga. Kebanyakan anak-anak tersebut pulang ke rumah
yang kosong, mereka membuka pintu, membuka sekaleng spageti, mencuci pakaian
mereka sendiri, menggunakan pakaian yang sama, dan tidak menggantinya selama
berhari-hari. Anak-anak ini memiliki banyak tanggung jawab tetapi hanya untuk
dirinya sendiri, sehingga banyak diantara mereka yang muncul dengan sikap yang
tidak baik.
Sering
juga muncul suatu masalah ketika hubungan keluarga yang begitu berjarak
merupakan akibat dari kehidupan yang serba cepat. Banyak orang tua yang
memiliki jadwal yang begitu berlebihan yang mengakibatkan komunikasi face to face antara orang tua dan anak
semakin jarang terjadi. Di Baltimore Country, Maryland, sebuah sekolah yang
megadakan sebuah survei menemukan bahwa para orang tua rata-rata hanya
mempunyai waktu sebanyak 2 menit sehari untuk dapat melakukan “meaningful dialogue” dengan anak-anak
mereka.
Faktor
lain dari kebiasaan keluarga yang mempengaruhi anak perkembangan karakter anak
adalah pola asuh keluarga. Pola asuh yang memanjakan anak dapat mempengaruhi
perkembangan karakter anak (Vibriyanthy, Fauziah, Belajar, & Yogyakarta,
n.d.).
6.
Ketika
Anak-Anak Tidak Memiliki Hubungan Dekat dengan Orang Tua Mereka
Ketika anak-anak tidak memiliki hubungan
dekat dengan orang tua mereka dan tidak mengenal nilai-nilai yang berlaku dalam
keluarga, mereka akan menjadi lemah dalam menghadapi tekanan dari
teman-temannya. Sebagai tambahan atas meningkatnya kelemahan anak-anak dalam
menghadapi tekanan dari teman sebaya mereka dan menurunnya pengawasan yang
dilakukan oleh orang tua, pada akhirnya banyak anak-anak yang mengambil langkah
sendiri tanpa bimbingan yang membahayakan kehidupan mereka, salah satunya
adalah sikap melukai diri sendiri.
Pada akhirnya, untuk beberapa alasan,
kebingungan tentang nilai yang mereka miliki tampak seperti akibat dari sikap
abai yang dilakukan oleh orang tua mereka. Sikap yang terlalu khawatir jika
anak-anak mereka tidak mau menerima masukan atau kontrol dari orang tua. Banyak
orang tua yang menghilangkan pelayanan mereka dalam mendidik anak-anak yang
menjadi tanggung jawab mereka, kepercayaan di dalam otoritas pandangan orang
tua sendiri. Seorang pengawas Wisconsin berkomentar: “para orang tua pernah
memberikan pertanyaan seperti ini kepada kami, saya ini anak perempuan anak
saya pergi ke acara sekolah yang diadakan malam hari, tetapi apa yang harus
saya katakan kepadanya ketika ia mengatakan orang tua teman-temannya memberikan
izin kepada anak-anak mereka selama satu minggu. Banyak dari orang tua tersebut
merupakan orang tua yang berhasil dalam pekerjaan mereka, tetapi mereka tidak
memiliki dasar terhadap kejelasan tentang nilai-nilai yang mereka miliki.
Berdasarkan dari diskusi tersebut, para orang tua mulai melakukan perbincangan
dengan anak-anak mereka atau mulai mengambil sikap yang mengharuskan anak-anak
berani bersikap baik secara moral.
7.
Sebuah
Dilema Pendidikan Sekolah: Sebuah Tugas Berat dengan Sedikit Dukungan
Bagaimana perubahan yang terjadi didalam
keluarga memengaruhi beban sekolah sebagai media pendidik moral? Tentu saja
sekolah harus bekerja lebih keras dalam menyikapi hal tersebut. Ketika orang
tua tidak mengetahui kebutuhan dasar anak baik yang bersifat fisik maupun
emosional, maka sebenarnya anak-anak belum siap untuk menjalankan perannya baik
secara mental maupun secara moral di sekolah. Keadaan buruk berikut ini pun
meningkat: anak-anak yang berangkat sekolah tanpa sarapan, jam tidur yang
sedikit, PR yang belum dikerjakan, dan tanpa merasakan adanya orang-orang yang
benar-benar peduli terhadap mereka. Kesulitan dalam belajar dan masalah
perilaku seringkali menjadi akibat dari hal tersebut.
Ketika orang tua tidak membangun suatu
hubungan baik dengan anak-anak mereka dan menggunakan hubungan tersebut untuk
mengajarkan anak-anak tentang kebaikan maka sekolah pun harus memulainya dari
tahap yang sangat mendasar. Ketika para orang tua sudah begitu bingung atau
tidak mampu lagi bertindak terhadap perilaku anak-anak mereka, mereka hanya
akan bergerak untuk peduli jika anak-anak mereka ditemukan bermasalah di
sekolah dan itupun tidak banyak. Bahkan ada yang sebaliknya, beberapa orang tua
yang justru mendukung anak-anak mereka untuk memahami makna nilai yang bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan disekolah. Nilai-nilai yang baik yang
diberikan oleh pihak sekolah kadang mendapatkan respon yang negatif dari
anak-anak dan orang tua mereka.
Sekolah semakin sering diminta untuk
memberikan pendidikan yang lebih, dengan masalah pendidikan moral yang lebih
berat, tetapi hanya mendapat dukungan yang tidak terlalu berarti. Asumsi lama
tentang peran keluarga memiliki kesamaan pandangan yang kuat dan mendidik
anak-anak mereka dengan nilai-nilai dari norma-norma yang sama seperti yang
diajarkan di sekolah.
8.
Sekolah
dan Orang Tua: Pendamping Utama
Meskipun
sekolah mampu meningkatkan pemahaman awal para siswanya ketika mereka ada di
sekolah. Sikap baik yang dimiliki oleh anak-anak tersebut akan perlahan
menghilang, jika nilai yang telah diajarkan di sekolah tersebut tidak
mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah. Dengan alasan tersebut, sekolah dan
keluarga haruslah seiring dalam menyikapi masalah yang muncul. Dengan adanya
kerja sama antara kedua pihak, kekauatn yang sesungguhnya dapat dimunculkan
untuk meningkatkan nilai moral sebagai seorang manusia dan untuk mengangkat
kehidupan moral di negeri ini.
Dengan
harapan tersebut, banyak sekolah yang sudah mulai melibatkan orang tua sebagi partner dalam pendidikan moral. Salah satu
pendekatannya adalah untuk mengajukan nilai-nilai yang sekolah ajarkan kepada
anak-anak mereka, mendapat masukan dan bersama-sama membuat komitmen yang
memiliki tujuan yang sejalan. Pendekatan lainnya adalah dengan mulai mengetahui
bahwa para orang tua sebenarnya terisolir dari lingkungan tempat anak-anak
mereka berada, tidak saling mengenal orang tua dari teman anak-anak mereka,
tidak memahami tentang batasan-batasan apa saja yang semestinya dipertimbangkan
dan disesuaikan dengan usia anak-anak mereka, dan juga masalah yang muncul
ketika anak-anak tidak mampu untuk menentang otoritas orang tua. Contohnya
adanya komunitas orang tua untuk membantu permasalahan seperti yang dijelaskan
sebelumnya.
Sekolah-sekolah
yang telah memfasilitasi para orang tua untuk membentuk komunitas dukungan
seperti ini menunjukkan bahwa keterlibatan para orang tua untuk bekerja secara
bersama-sama seperti dalam merencanakan kegiatan sekolah atau komunitas, dan
sekolah sangatlah terbantu dengan adanya sosialisasi tentang nilai dan ternyata
terus mendapat dukungan dari orang tua lain.
C.
Penutup
Meskipun
sekolah mampu meningkatkan pemahaman awal para siswanya ketika mereka ada di
sekolah. Sikap baik yang dimiliki oleh anak-anak tersebut akan perlahan
menghilang, jika nilai yang telah diajarkan di sekolah tersebut tidak
mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah. Dengan alasan tersebut, sekolah dan
keluarga haruslah seiring dalam menyikapi masalah yang muncul. Dengan adanya
kerja sama antara kedua pihak, kekauatn yang sesungguhnya dapat dimunculkan
untuk meningkatkan nilai moral sebagai seorang manusia dan untuk mengangkat
kehidupan moral di negeri ini.
Daftar Pustaka
Jalaluddin, J. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga.
Ta'dib, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/tadib/article/view/24/19
XVII(4067), 17(01),41–59.
Khusniati, M. (2012). PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI
PEMBELAJARAN IPA. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. Retrieved from http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpii/article/view/2140
Sukitman, T. (2012). Pendidikan karakter berwawasan sosiokultural. Jurnal
Pelopor Pendidikan, 3(1), 11–20. Retrieved from
http://www.stkippgrismp.ac.id/jurnal-pelopor-pendidikan-2/
Vibriyanthy, R., Fauziah, P. Y., Belajar, S. K., & Yogyakarta, U. N.
(n.d.). Implementasi Pendidikan Karakter di Homeschooling Kak Seto Yogyakarta
Ricca Vibriyanthy, Puji Yanti Fauziah 75, 1(3), 75–85.
Yasid, A. (2012). MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM BINGKAI DRAMA :
Kajian Pendidikan Karakter Berbasis Karya Sastra. Jurnal Pelopor Pendidikan,
3(1), 43–52. Retrieved from
http://www.stkippgrismp.ac.id/jurnal-pelopor-pendidikan-2/
No comments:
Post a Comment