Thursday, April 14, 2016

Educating for Character (mendidik utuk membentuk karakter) Thomas Lichona



Mendidik untuk Membentuk Karakter dan Mengapa Sekolah Membutuhkan Dukungan dari Lingkungan Rumah

A.    Pendahuluan
Kehidupan sosial sangatlah berpengaruh pada perkembangan kepribadian seorang individu. Berdasarkan kenyataan yang ada, struktur kehidupan sosial semakin memburuk, dan tentunya sekolah-sekolah harus menyadari bahwa pihak sekolah harus mencoba melakukan sesuatu dalam proses memberikan pendidikan tentang nilai. Dalam melaksanakan hal tersebut, maka sekolah-sekolah harus melihat dua hal utama yaitu: 

1.      Harapan bahwa tujuan mereka dapat terlaksana dengan baik
Harapan ini telah dapat dilihat pada beberapa sekolah yang telah melaksanaka program atau usaha yang cukup berarti dalam memberikan pendidikan nilai.
2.      Rasa percaya bahwa mereka tidaklah sendiri dalam pelaksanaan upaya tersebut.
Rasa ini muncul dari sebuah tren  yang saat ini sedang dikembangkan yaitu “sekolah dan keluarga bekerja sama untuk mendidik moral anak-anak”.
Penanaman nilai moral pada anak merupakan tanggunga jawab bersama antara pihak sekolah dan lingkungan keluarga. Kerjasama yang baik antara kedua pihak ini haruslah terjalin sehingga dapat memperoleh hasil yang baik dalam penanaman nilai dan moral pada anak. Peran, tugas serta tanggung jawaba dari pihak sekolah dan lingkungan keluarga haruslah diketahui dan dipahami, sehingga dalam pelaksanaannnya nanti tidak terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan suasana yang kurang bersahhabat antara pihak sekolah dan keluarga. Hal ini dapat diatasi dengan memahami tanggung jawab dan tugas masing-masing pihak.


B.     Pembahasan
1.      Apa yang sedang Berlangsung?
Di Amerika dan Kanada, sudah dilakukan dan sedang dilakukan oleh sekolah maupun organisasi masyarakat dalam memberikan nilai-nilai positif dan juga pembentukan karakter yang terpuji. Berikut ini adalah beberapa contoh kegiatan/program dari sekolah ataupun organisasi di Amerika dan Kanada yang telah melakukan dan mengembangkan pembentukan karakter disekolah.
·         Para siswa SMA di Atlanta harus mampu menunjukan semangat mereka sebagai seorang warga Negara yang baik dengan memenuhi 75 jam kegiatan bermasyarakat sebelum mereka lulus.
·         Di Chicago sebuah organisasi masyarakat yang menamakan diri For Character menjadi sponsor dalam melaksanakan program penganugerahan dibidang pendidikan dasar dan menengah yang telah mendidik siswa-siswi mereka untuk dapat berprestasi dalam hal karakter dan akademik.
·         Pengembangan tentang pemahaman dan penghormatan siswa terhadap hukum yang berlaku merupakan focus utama dari Law in a Free Society, sebuah projek pendidikan dalam California State Bar Association. Law in a Free Society mengembangkan dan menerbitkan kurikulum pendidikan mulai dari tingkat TK sampai dengan kelas 12, yang didalamnya terdapat penjelasan tentang konsep otoritas, keadilan, privasi, tanggung jawab, kebebasan, perbedaan, kepemilikan, dan keikutsertaan. Beberapa hal yang dikembangkan adalah untuk memperkuat nilai diri dalam menghadapi berbagai tekanan dari teman-teman sebaya, untuk mampu menghadapi sebuah konflik dengan cara yang positif bukan dengan cara kekerasan, untuk mengembangkan pemahaman tentang tolerasi, dan untuk menghormati pandangan orang lain yang berbeda. Hal tersebut merupakan tujuan dari PREPARE, sebuah kurikulum yang popular di Kanada yang berbasis pada pendidikan kewarganegaraan untuk siswa kelas SD kelas 4-6. Program pendidikan kewarganegaraan ini bersifat parallel untuk para remaja. Preparing Adolescents for Tomorrow berisi beberapa topic mengenai: pelanggaran lalu lintas, aturan dalam keluarga, membentuk kerjasama kerja, perlindungan diri, pencurian, dan pencegahan tindak bunuh diri.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat dilihat bahwa dibeberapa sekolah sudah diterapkan dan dikembangkan program dalam pedidikan karakter. Program tersebut ada yang dilaksanakan berdasarkan program sekolah ataupun berdasarkan kurikulum, namun ada juga yang dilaksankan dengan bekerjasama dengan pihak lain (organisasi masyarakat). Aspek-aspek yang dikembangkan meliputi berbagai pendidikan nilai (karakter) yang berhubungan dengan pergaulan peserta didik dilingkungan masyarakat, seperti aturan dalam keluarga dan masyarakat, cara bekerja sama dengan orang lain, mematuhi aturan-aturan yang berlaku, dan juga pendidikan dalam pengambilan sikap.
Pendidikan karakter dalam sekolah dapat juga diintegrasikan pada bimbingan konseling. Hal ini merupakan salah satu program yang dilakukan oleh pihak sekolah. Selain itu juga pendidikan karakter dapat di terapkan dalam berbagai mata pelajaran dengan berbagai model pembelajaran seperti model kontekstual dan juga penerapan melalui karya sastra dalam bentuk bingkai drama (Khusniati, 2012; Yasid, 2012).
2.      Apakah Pendidikan Nilai Memberikan Pengaruh
Program pendidikan nilai sangat mempengaruhi pada anak apabila dilaksanakan secara konsisten. Siswa akan mengalami peningkatan dalam hal sikap dan moral. Seperti penelitian yang telah dilaksanakan di Negeri Kanada untuk mengetahui apakah ada pengaruh pendidikan moral secara langsung.
Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa terdapat perubahan yang sangat signifikan kepada anak disekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Sebuah SMP San Marcos di California, kini menyelenggarakan program tentang sikap pengambilan keputusan. Hal ini dapat menekan jumlah kehamilan di sekolah itu dan meningkatkan prestasi akademik. Selain itu juga, sebuah di Kanada, yaitu Scarborought Village di Ontario merupakan tempat selanjutnya yang dikunjungi peneliti. Siswa dari sekolah tersebut kebanyakan merupakan siswa pindahan dari sekolah lain. Penulis mewawancarai seorang siswa kelas 5 SD yang merupakan siswa pindahan. Dalam wawancara tersebut, sang anak menyampaikan keadaannya sebelum pindah ke sekolah itu. Ia menceritakan keadaannya di sekolah yang lama yang sering mendapat tekanan dan ancaman dari teman sebayanya. Keadaan tersebut sangat berbeda dengan keadaannya disekolah yang sekarang. Keadaan di sekolah tersebut sangat nyaman bagi dia. Ada rasa saling memiliki dan saling menghargai. Tidak pernah saling menyerang dan menyakiti. Bahkan ada anak yang menyampaikan bahwa di sekolah ini kami dapat mengatakan kata ‘please’ dan ‘thank you’ kepada orang-orang di sekolah ini.

3.      Apa yang ditunjukan Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian empiris, menggambarkan sejumlah perbedaan pada dua kelompok siswa pada sekolah yang berbeda. Pada siswa yang mengikuti program Holocaust terlihat diatas rata-rata dalam pemahaman mereka terhadap bagaimana keputusan-keputusan pribadi dipengaruhi oleh lingkungan mereka dan tingkat kompleksitas kepekaan mereka terhadap berbagai isu mengenai kepemimpinan, kekuasaan, dan penyelesaian konflik.
Evaluasi ilmu dalam pendidikan nilai dilaksanakan oleh sebuah badan yang dinamakan Projek Peningkatan Kualitas Anak California (California’s Child Development Project-CDP). Projek ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah sebuah program pendidikan nilai yang menyeluruh, yang dilaksankan dari tingkat kanak-kanak sampai ke tingkat SD, dapat menghasilkan dampak positif yang terukur dan tahan lama dalam hal pemikiran moral, tingkah laku, dan sikap anak-anak?” Untuk menjawab pertanyaan itu, diambillah 6 SD dari 13 SD di San Ramon. Enam sekolah itu dibagi menjadi 2 kelompok (1 kelompok terdiri dari 3 sekolah). Sekolah yang termasuk pada salah satu kelompok menjadi sekolah eksperimental (dengan program), sedangkan yang satunya lagi sebagai sekolah control (tanpa program).
Lima tahun kemudian, pada tahun 1989, laporan hasil belajar anak-anak yang bersekolah dengan program CDP menunjukan kearah yang lebih positif. Hasil belajar tersebut didapat dari seluruh siswa yang telah berpartisipasi sejak duduk dibangku TK sampai kelas 4 SD (5 tahun). Terdapat beberapa hal yang cukup menonjol dan menjadi perbedaan hasil yang cukup signifikan, yaitu dalam 4 hal:
1.      Sikap terhadap kegiatan pembelajaran kelas. Para siswa lebih menunjukan sikap yang lebih spontan dalam memberikan pertolongan kepada orang lain, kerja sama, saling mengasihi dan menyayangi, serta sikap saling mendukung antar kelas.
2.      Sikap dalam penggunaan arena bermain sekolah. Para siswa terlihat lebih mau berbagi dengan siswa lain di arena bermain, sedangkan siswa di sekolah pembanding masih cenderung bersikap menang sendiri.
3.      Kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang bersifat sosial. Dalam menyelesaikan masalah yang mungkin muncul, para siswa lebih mendasari perhatian mereka pada penyelesaian yang melibatkan kesepakatan bersama bukanlah penyelesaian yang terlalu agresif dan terburu-buru yang tentunya menhasilkan sebuah penyelesaian alternatif yang lebih terencana.
4.      Komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Para siswa lebih berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi, seperti meyakini bahwa setiap orang dalam kelompok memiliki hak untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan dan kegiatan yang akan dibuat.
Lebih dari itu, prestasi yang telah mereka raih diatas, sama sekali tidak mengorbakan prestasi akademik yang mereka raih. Anak-anak CDP memiliki nilai yang sama bagusnya dengan siswa yang ada di sekolah control dan telah mencapai standar pengukuran keberhasilan sekolah yang berlaku di California.
Dari hasil penelitian tersebut timbulah pertanyaan “akankah hasil positif dalam program tersebut akan terus tertanam di jiwa para siswa sampai mereka dudukdi bangku SMP? Akankah para siswa CDP merepresentasikan penurunan jumlah kehamilan remaja dan penurunan tindak kenakalan remaja? Dan apakah CDP program dapat berjalan baik di lingkungan dengan kesejahteraan masyarakatnya masih dibawah rata-rata dan di sekolah yang siswanya berasal dari latar belakang yang heterogen? (daerah yang belum terjangkau program CDP).
4.      Apakah Peranan Keluarga
Saat ini semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa sekolah telah mampu membuat sebuah perubahan  dalam pengembangan karakter. Akan tetapi, apakah hal tersebut menjadi tanggung jawab sekolah seutuhnya? Apa peran keluarga?
Secara umum orang-orang memandang bahwa keluarga merupakan sumber pendidikan moral yang paling utama bagi anak-anak. Orang tua adalah guru pertama mereka dalam pendidikan moral. Mereka jugalah yang memberikan pengaruh paling lama terhadap perkembangan moral anak-anak. Dalam sebuah studi, para orang tua yang berpegang teguh pada keyakinan mereka akan menunjukkan sikap yang berbeda dikala mereka mendapati anak mereka melakukan kesalahan ataupun menyakiti orang lain, dibandingkan dengan orang tua yang tidak memiliki keyakinan dan sikap yang jelas dalam mendidik anak. Para orang tua lebih peduli untuk meminta anaknya untuk menyesali perbuatannya, menunjukkan kekecewaan atas hal tersebut, mencari tahu apa yang menjadi kesalahan dari apa yang telah diperbuatnya, memunculkan sikap bertanggung jawab, serta meminta mereka untuk meminta maaf dan memperbaiki kesalahnnya.
Penerapan nilai/moral dalam lingkungan keluarga, penerapannya mulai dari aktivitas  keseharian di lingkungan keluarga. Proses pembentukan yang dilakukan melalui pembiasaan. Sebab pendidikan sendiri hakikatnya adalah pembiasaan. Melatih pada kebiasaan yang baik.  Pembentukan kebiasaan  akan lebih efektif bila didukung  oleh   sosok teladan yang dapat dijadikan panutan. Kedua  faktor ini memang tersedia dalam kehidupan  keluarga, yakni kedua orangtua (Jalaludin,  2012).
Para orang tua yang memberikan pendidikan moral dengan efektif, berdasarkan indikasi penelitian adalah mereka yang “autoritatif” membimbing anak-anak untuk patuh kepada mereka. Namun, juga memberikan alasan yang jelas mengenai apa yang orang tua inginkan dari anak-anaknya sehingga anak-anak dapat meresapi logika dari tindakan yang bermoral dan melakukan tindakan yang bertanggung jawab berdasarkan inisiatif mereka sendiri. Sebaliknya, orang tua yang “permisif” (yang enggan membuat aturan dan lebih bersikap mengancam) maupun orang tua yang “authoritarian” (orang tua yang terlalu banyak mengontrol anak tetapi tanpa memberikan alasan yang jelas terhadap aturan yang berlaku dan cenderung bersifat kaku), menunjukan hasil yang sama, yaitu keduanya memberikan dampak yang tidak baik bagi anak-anak disegala usia dalam meningkatkan sikap pengendalian diri dan memunculkan anak-anak yang memiliki tanggung jawab secara sosial.
Selain itu juga, peran lingkungan keluarga sangatlah berpengaruh dalam menanamkan nilai moral. Hal ini dapat dilakukan karena keluarga hudup dalam lingkungan masyarakat yang memiliki nilai sosial budaya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sukitman, untuk mengembangkan potensi peserta didik diperlukan pendidikan karakter berwawasan sosiokultural, sebagai sebuah blue print yang menuntun perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dan ditetaskan dalam kehidupan keluarga (Sukitman, 2012).
Pada akhirnya, kualitas pengasuhan orang tua merupakan dasar pengukuran yang digunakan ketika seorang anak terlibat dalam masalah. Sebuah studi sederhana, dilakukan terhadap ribuan anak SMP dan SMA, dan ditemukan bahwa semakin baik pengawasan yang dilakukan oleh ibu terhadap anak-anaknya, semakin baik komunikasi yang terjadi antara anak dan ayahnya. Selain itu, semakin besar sikap kasih dan saying antara anak dan kedua orang tuanya, semakin kecil kemungkinan anak-anak tersebut untuk terlibat dalam masalah pelanggaran hukum.
5.      Perubahan didalam Keluarga
Peran keluarga sangatlah penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Akan tetapi, saat ini peran keluarga tersebut telah berubah. Banyak keluarga yang mengalami masalah dan berujung perceraian. Sampai dengan tahun 1988, berdasarkan laporan Komisi Nasional Anak-anak, yaitu sebanyak 55% keluarga yang hanya dibimbing oleh seorang ibu sebagai orang tua tunggal dan hidup dalam kemiskinan. Sedangkan yang hidup dalam kemiskinan dengan dua orang orang tua yaitu sebanyak 12%.
Tempat tinggal keluarga saat ini mulai sering berpindah-pindah dibandingkan dengan masa sebelumnya. Setiap tahunnya, satu dari lima keluarga di Amerika berpindah tempat tinggal. Hal ini menyebabkan menghambat proses pengenalan anak tentang siapa dirinya di lingkungan masyarakat.
Ilmu sosial saat ini mulai menunjukkan bahwa akibat dari perceraian keluarga telah menunjukkan dampak yang lebih buruk dibandingkan yang pernah terjadi sebelumnya. Pada awal tahun 1970-an, Dr. Judith Wallerstein, seorang psikolog dan dosen senior di University of California di Berkley menyatakan bahwa apa yang menjadi pemikiran beliau sebelumnya adalah sebuah studi selama satu tahun kepada keluarga dengan tingkat kesejahteraan menengah yang baru saja mengalami perceraian. Hasil studinya menyatakan bahwa “secara normal, orang-orang yang memiliki kesehatan fisik dan mental mampu menyelesaikan masalah mereka yang menyangkut perceraian dalam waktu setahun”. Sebagai pendukung, beliau juga telah menyelesaikan sebuah studi yang dilakukan selama sepuluh tahun hanya untuk mendokumentasikan tentang bagaimana pandangan beliau yang keliru sebelum studi tersebut dilaksanakan. Dalam bukunya yang laris dipasaran, Second Chances: Men, Women, and Children a Decade After Divorce (kesempatan kedua: pria, wanita, dan anak-anak sepuluh tahun setelah perceraian) menuliskan:

Ketika kami melakukan wawancara lanjutan setelah satu tahun hingga 18 bulan kemudian, kami menemukan bahwa kebanyakan keluarga masih dalam situasi yang tidak menentu. Luka yang mereka alami dapat dengan mudah terbuka kembali. Ketidakstabilan dan permasalahn hidup tampaknya belum dapat dihadapi dengan baik. Banyak orang tua yang masih sangat marah, dipermalukan, dan mendapat penolakan dan kebanyakan dari mereka tidak kembali rujuk dengan pasangannya. Dalam situasi seperti ini, kebanyakan anak-anak mulai terjerumus dalam situasi yang tidak menyenangkan. Gejala yang ditemukanpun ternyata semakin memburuk.

Wallerstein menjelaskan bahwa dampak dari keadaan ini adalah: anak-anak penurut mulai membuat masalah di sekolahnya, dan anak laki-laki yang sebelumnya tenang, serta berperilaku baik menjadi seorang penggangu yang hiperaktif. Dalam jangka waktu 5-10 tahun lebih dari sepertiga anak-anak terjerumus menjadi pecandu alcohol dan narkoba, terjebak dalam depresi berat dan terlibat dalam masalah penyimpangan seksual.
Di Amerika Serikat saat ini terdapat lebih dari 8 juta anak-anak yang tidak mendapat perhatian dari kedua orang tuanya disaat mereka bekerja. Seorang guru kelas 4 SD dipusat kota New York menanggapi: perubahan yang kita lihat pada anak-anak, seperti meningkatnya perilaku yang tidak baik, merupakan refleksi dari perubahan peran keluarga. Kebanyakan anak-anak tersebut pulang ke rumah yang kosong, mereka membuka pintu, membuka sekaleng spageti, mencuci pakaian mereka sendiri, menggunakan pakaian yang sama, dan tidak menggantinya selama berhari-hari. Anak-anak ini memiliki banyak tanggung jawab tetapi hanya untuk dirinya sendiri, sehingga banyak diantara mereka yang muncul dengan sikap yang tidak baik.
Sering juga muncul suatu masalah ketika hubungan keluarga yang begitu berjarak merupakan akibat dari kehidupan yang serba cepat. Banyak orang tua yang memiliki jadwal yang begitu berlebihan yang mengakibatkan komunikasi face to face antara orang tua dan anak semakin jarang terjadi. Di Baltimore Country, Maryland, sebuah sekolah yang megadakan sebuah survei menemukan bahwa para orang tua rata-rata hanya mempunyai waktu sebanyak 2 menit sehari untuk dapat melakukan “meaningful dialogue” dengan anak-anak mereka.
Faktor lain dari kebiasaan keluarga yang mempengaruhi anak perkembangan karakter anak adalah pola asuh keluarga. Pola asuh yang memanjakan anak dapat mempengaruhi perkembangan karakter anak (Vibriyanthy, Fauziah, Belajar, & Yogyakarta, n.d.).
6.      Ketika Anak-Anak Tidak Memiliki Hubungan Dekat dengan Orang Tua Mereka
Ketika anak-anak tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tua mereka dan tidak mengenal nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga, mereka akan menjadi lemah dalam menghadapi tekanan dari teman-temannya. Sebagai tambahan atas meningkatnya kelemahan anak-anak dalam menghadapi tekanan dari teman sebaya mereka dan menurunnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua, pada akhirnya banyak anak-anak yang mengambil langkah sendiri tanpa bimbingan yang membahayakan kehidupan mereka, salah satunya adalah sikap melukai diri sendiri.
Pada akhirnya, untuk beberapa alasan, kebingungan tentang nilai yang mereka miliki tampak seperti akibat dari sikap abai yang dilakukan oleh orang tua mereka. Sikap yang terlalu khawatir jika anak-anak mereka tidak mau menerima masukan atau kontrol dari orang tua. Banyak orang tua yang menghilangkan pelayanan mereka dalam mendidik anak-anak yang menjadi tanggung jawab mereka, kepercayaan di dalam otoritas pandangan orang tua sendiri. Seorang pengawas Wisconsin berkomentar: “para orang tua pernah memberikan pertanyaan seperti ini kepada kami, saya ini anak perempuan anak saya pergi ke acara sekolah yang diadakan malam hari, tetapi apa yang harus saya katakan kepadanya ketika ia mengatakan orang tua teman-temannya memberikan izin kepada anak-anak mereka selama satu minggu. Banyak dari orang tua tersebut merupakan orang tua yang berhasil dalam pekerjaan mereka, tetapi mereka tidak memiliki dasar terhadap kejelasan tentang nilai-nilai yang mereka miliki. Berdasarkan dari diskusi tersebut, para orang tua mulai melakukan perbincangan dengan anak-anak mereka atau mulai mengambil sikap yang mengharuskan anak-anak berani bersikap baik secara moral.
7.      Sebuah Dilema Pendidikan Sekolah: Sebuah Tugas Berat dengan Sedikit Dukungan
Bagaimana perubahan yang terjadi didalam keluarga memengaruhi beban sekolah sebagai media pendidik moral? Tentu saja sekolah harus bekerja lebih keras dalam menyikapi hal tersebut. Ketika orang tua tidak mengetahui kebutuhan dasar anak baik yang bersifat fisik maupun emosional, maka sebenarnya anak-anak belum siap untuk menjalankan perannya baik secara mental maupun secara moral di sekolah. Keadaan buruk berikut ini pun meningkat: anak-anak yang berangkat sekolah tanpa sarapan, jam tidur yang sedikit, PR yang belum dikerjakan, dan tanpa merasakan adanya orang-orang yang benar-benar peduli terhadap mereka. Kesulitan dalam belajar dan masalah perilaku seringkali menjadi akibat dari hal tersebut.
Ketika orang tua tidak membangun suatu hubungan baik dengan anak-anak mereka dan menggunakan hubungan tersebut untuk mengajarkan anak-anak tentang kebaikan maka sekolah pun harus memulainya dari tahap yang sangat mendasar. Ketika para orang tua sudah begitu bingung atau tidak mampu lagi bertindak terhadap perilaku anak-anak mereka, mereka hanya akan bergerak untuk peduli jika anak-anak mereka ditemukan bermasalah di sekolah dan itupun tidak banyak. Bahkan ada yang sebaliknya, beberapa orang tua yang justru mendukung anak-anak mereka untuk memahami makna nilai yang bertolak belakang dengan apa yang diajarkan disekolah. Nilai-nilai yang baik yang diberikan oleh pihak sekolah kadang mendapatkan respon yang negatif dari anak-anak dan orang tua mereka.
Sekolah semakin sering diminta untuk memberikan pendidikan yang lebih, dengan masalah pendidikan moral yang lebih berat, tetapi hanya mendapat dukungan yang tidak terlalu berarti. Asumsi lama tentang peran keluarga memiliki kesamaan pandangan yang kuat dan mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai dari norma-norma yang sama seperti yang diajarkan di sekolah.
8.      Sekolah dan Orang Tua: Pendamping Utama
Meskipun sekolah mampu meningkatkan pemahaman awal para siswanya ketika mereka ada di sekolah. Sikap baik yang dimiliki oleh anak-anak tersebut akan perlahan menghilang, jika nilai yang telah diajarkan di sekolah tersebut tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah. Dengan alasan tersebut, sekolah dan keluarga haruslah seiring dalam menyikapi masalah yang muncul. Dengan adanya kerja sama antara kedua pihak, kekauatn yang sesungguhnya dapat dimunculkan untuk meningkatkan nilai moral sebagai seorang manusia dan untuk mengangkat kehidupan moral di negeri ini.
Dengan harapan tersebut, banyak sekolah yang sudah mulai melibatkan orang tua sebagi partner dalam pendidikan moral. Salah satu pendekatannya adalah untuk mengajukan nilai-nilai yang sekolah ajarkan kepada anak-anak mereka, mendapat masukan dan bersama-sama membuat komitmen yang memiliki tujuan yang sejalan. Pendekatan lainnya adalah dengan mulai mengetahui bahwa para orang tua sebenarnya terisolir dari lingkungan tempat anak-anak mereka berada, tidak saling mengenal orang tua dari teman anak-anak mereka, tidak memahami tentang batasan-batasan apa saja yang semestinya dipertimbangkan dan disesuaikan dengan usia anak-anak mereka, dan juga masalah yang muncul ketika anak-anak tidak mampu untuk menentang otoritas orang tua. Contohnya adanya komunitas orang tua untuk membantu permasalahan seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Sekolah-sekolah yang telah memfasilitasi para orang tua untuk membentuk komunitas dukungan seperti ini menunjukkan bahwa keterlibatan para orang tua untuk bekerja secara bersama-sama seperti dalam merencanakan kegiatan sekolah atau komunitas, dan sekolah sangatlah terbantu dengan adanya sosialisasi tentang nilai dan ternyata terus mendapat dukungan dari orang tua lain.

C.    Penutup
Meskipun sekolah mampu meningkatkan pemahaman awal para siswanya ketika mereka ada di sekolah. Sikap baik yang dimiliki oleh anak-anak tersebut akan perlahan menghilang, jika nilai yang telah diajarkan di sekolah tersebut tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah. Dengan alasan tersebut, sekolah dan keluarga haruslah seiring dalam menyikapi masalah yang muncul. Dengan adanya kerja sama antara kedua pihak, kekauatn yang sesungguhnya dapat dimunculkan untuk meningkatkan nilai moral sebagai seorang manusia dan untuk mengangkat kehidupan moral di negeri ini.

Daftar Pustaka

Jalaluddin, J. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga. Ta'dib, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/tadib/article/view/24/19 XVII(4067), 17(01),41–59.

Khusniati, M. (2012). PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN IPA. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. Retrieved from http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpii/article/view/2140

Sukitman, T. (2012). Pendidikan karakter berwawasan sosiokultural. Jurnal Pelopor Pendidikan, 3(1), 11–20. Retrieved from http://www.stkippgrismp.ac.id/jurnal-pelopor-pendidikan-2/

Vibriyanthy, R., Fauziah, P. Y., Belajar, S. K., & Yogyakarta, U. N. (n.d.). Implementasi Pendidikan Karakter di Homeschooling Kak Seto Yogyakarta Ricca Vibriyanthy, Puji Yanti Fauziah 75, 1(3), 75–85.

Yasid, A. (2012). MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM BINGKAI DRAMA : Kajian Pendidikan Karakter Berbasis Karya Sastra. Jurnal Pelopor Pendidikan, 3(1), 43–52. Retrieved from http://www.stkippgrismp.ac.id/jurnal-pelopor-pendidikan-2/

No comments:

Post a Comment